November 24, 2010
Fixed Gear Merajalela
Sepeda fixed gear di mana-mana. Sepeda dengan ketidakmampuan untuk meluncur sendiri tanpa pedal berhenti berputar ini, makin merajalela di kota-kota besar di Indonesia. Mulai yang menggunakannya untuk alat transportasi atau olahraga, hingga yang menjadikannya fashion statement.
Sebenarnya, apa itu sepeda fixed gear, dan kenapa bisa menjadi sedemikian populernya di seluruh dunia?
Sejarah Singkat
Sebetulnya, sepeda fixed gear adalah bentuk paling “primitif” dari sebuah sepeda. “Anda bisa menambahkan apa saja pada sebuah sepeda, tapi akan ada saatnya di mana anda tidak bisa mengurangi komponen sebuah sepeda tanpa menghilangkan fungsi dasarnya. Itulah fixed gear,” kata Graeme Obree, pemegang rekor Hour Record dari Inggris.
Pada awalnya, semua sepeda nggak punya rantai. Entah dikayuh dengan kedua kaki macam otopet, atau memiliki pedal yang langsung terhubung ke as roda, sehingga tiap kayuhan kaki langsung memutar roda sepeda. Kelemahan dari teknologi ini, bila kita menginginkan sepeda berjalan lebih jauh tiap satu putaran pedal, berarti diameter roda harus dibuat sebesar mungkin. Batas diameter yang mungkin adalah dua kali panjang kaki pengendaranya, dan sepeda dengan roda sebesar itu sangat nggak stabil pengendaliannya. Bahaya.
Selanjutnya, kelemahan ini diatasi dengan menggunakan diameter roda yang tidak begitu besar untuk mengurangi bahaya. Untuk membuat sepeda berjalan lebih jauh setiap satu putaran pedal, maka digunakan mekanisme roda gigi dan rantai yang bisa diset dengan rasio tertentu. Ya, mirip dengan sepeda yang kita lihat sekarang.
Pada saat itu, posisi roda gigi belakang (yang terhubung ke roda belakang) adalah tetap, atau fixed. Tiap putaran pedal akan memutar roda, dan begitu pula sebaliknya. Nah, inilah yang disebut fixed gear, atau bahasa sininya “doltrap”. Karena bentuk sistem penggerak ini masih dianggap berbahaya untuk mayoritas orang, maka selanjutnya dikembangkanlah mekanisme freewheel, yang memungkinkan sepeda meluncur sendiri meskipun pedal berhenti dikayuh, atau coasting.
Dari Velodrom ke Jalanan
Sepeda fixed gear, awalnya murni digunakan untuk perlombaan di velodrom, atau kompetisi track bike. Memang, momentum yang dihasilkan dari putaran roda fixed gear akan sangat membantu pembalap untuk mencapai kecepatan setinggi-tingginya, tapi karena resiko bahayanya maka penggunaan fixed gear untuk kompetisi akhirnya dibatasi di velodrom.
Mari kita loncat sejenak ke New York. Ibukota trendsetter dunia.
Jauh sebelum faksimili, jaringan internet, dan telepon selular, keberadaan kurir atau messenger untuk mengantar dokumen di distrik bisnis New York adalah sangat vital. Berhadapan dengan kemacetan lalu lintas, awalnya para messenger ini memilih untuk berjalan kaki, atau naik bus atau subway. Kultur bersepeda belum terlalu populer waktu itu, tenggelam di tengah kecintaan masyarakat Amerika pada mobil dan bahan bakar fosil.
Hingga kemudian beberapa messenger imigran dari Jamaika yang memiliki latar belakang sebagai atlet track bike di negara asalnya terpikir untuk menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Selain minus biaya karena minim perawatan (dengan sepeda track yang notabene fixed gear, tidak perlu khawatir akan kerusakan freewheel, derailer, atau rem. Karena memang nggak ada semua), bebas macet, dan jauh lebih cepat melibas kemacetan dibanding menunggu bus atau berjalan kaki. Walaupun kini tidak semua bike messenger menggunakan sepeda fixed gear, namun messenger yang menggunakan fixed gear memiliki status sosial lebih tinggi di mata sesama messenger.
Sebagai komunitas, tentunya para messenger ini memiliki pola sub-kultur tersendiri. Kehidupan mereka yang bebas, tidak terikat pada norma masyarakat “normal”, serta profesi yang menantang dan memicu adrenalin ini menarik perhatian kalangan hipster “gaul” yang mulai tertarik bersepeda, seiring merebaknya popularitas bersepeda di seluruh dunia kurang lebih pada pertengahan dasawarsa yang barusan lewat. Para hipster modis yang melek internet ini menjadikan fixed gear sebagai bagian dari fashion statement, terutama karena biasanya sepeda yang dipakai para messenger itu simpel (ya, karena nggak ada apa-apanya, rem aja nggak ada) namun dibuat sangat personal melalui pilihan warna dan komponen yang sesuai dengan kebutuhan pemiliknya. Selanjutnya, trend baru ini dibaca oleh kalangan di dunia fashion dan apparel, dan dengan bantuan internet… menyebarlah virus baru ini ke seluruh dunia.
Kok Bisa Sampai ke Indonesia?
Terima kasih kepada internet, akhirnya virus ini menyebar pula di Indonesia khususnya pada setahun belakangan ini.
Diawali dari Jakarta saat beberapa member sebuah forum khusus sepeda terbesar di Indonesia mulai saling “meracuni” dengan gambar-gambar sepeda fixed gear yang ditemukan di internet. Waktu itu, belum ada yang berani untuk membangun sepeda fixed gear, mengingat perbedaan kondisi lalu lintas Jakarta dan New York. Belum lagi keterbatasan parts yang ada di pasaran. Tapi tak butuh waktu lama untuk para pelopor ini untuk membangun fixed gear masing-masing, berbekal road bike uzur, parts akal-akalan, dan ilmu dari internet.
Tidak jauh berbeda dengan negara asalnya, di Indonesia pun penggunaan fixed gear dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi. Yang getol ngebut, yang senang nge-trick (terutama untuk penggemar yang memiliki latar belakang skill BMX atau trials, atau kebanyakan nonton Youtube), yang biasa-biasa saja tapi gemar jalan jauh, minimal untuk commuting sehari-hari, yang murni melihat sepeda ini sebagai fashion statement (dengan kata lain, doyan dandan), dan gabungan dari beberapa klasifikasi di atas. Tiap kota besar, kecenderungannya pun berbeda. Misalnya, karena akses yang terbuka, anak-anak Jakarta bisa dibilang terdepan soal masuknya barang baru dari luar negeri. Atau betapa komunitas fixed gear di Bandung lebih terkenal karena custom frame bikinan sendiri serta variasi trik dan “kecongkakan” skill yang dimiliki lalu barang-barang track bike yang tergolong vintage yang jadi ciri khas anak-anak Jogja, dan lain-lain.
Yang jelas, penggemar fixed gear tulen umumnya disatukan oleh satu tujuan. Karena gemar bersepeda, dan merasakan sensasi (dan resiko bahaya) yang berbeda dari sepeda “biasa”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bagus nih, lo bisa melihat masalah ini secara kompleks. entah ini copas atau engga, intinya gue setuju sama poin penutup nya :D (merasakan sensasi (dan resiko bahaya) yang berbeda dari sepeda “biasa”.) that's cool! :D
BalasHapus